Surat Kedua dari Oldham: Tentang Hujan dan Rindu Rasa

Assalamualaikum.

Hai sahabatku,

(Hi, my dear friend,)

Semoga kamu sehat selalu, bahagia, dan terus dalam lindungan Allah Swt. Alhamdulillah, aku di sini baik-baik saja. Terima kasih, ya, sudah membaca surat pertamaku. Kalau belum, bisa dibaca dulu di sini Surat Pertama dari Oldham: Akhir Musim Semi di Oldham—biar tidak ketinggalan.

(I hope you're always healthy, happy, and under Allah's protection. Alhamdulillah, I'm doing fine here. Thank you for reading my first letter. If you haven’t yet, you might want to read it first The First Letter from Oldham: The End of Spring in Oldham- so you won't miss it.)

Saat menulis surat ini, aku sedang duduk di dekat jendela kamar anakku sambil menyuapinya sarapan. Dia sendiri menonton kartun favoritnya. Dia menonton kartun pagi kesukaannya. Hm... terdengar bertentangan dengan teori-teori parenting moderen, ya? Makan kok sambil nonton? Ah, sudahlah. Tidak usah dibahas.


(Right now, as I’m writing this, I’m sitting by my son’s bedroom window, feeding him breakfast while he watches his favorite morning cartoon. Yep, eating while watching TV—kind of goes against modern parenting theories, doesn’t it? But let’s not get into that.)


coffee by the window

Di luar, hujan masih setia turun sejak semalam. Kata ramalan cuaca, hari ini akan terus begitu. Tapi jangan bayangkan hujan ala Indonesia yang romantis dan berbunyi rintik-rintik dari balik atap seng. Di sini, hujan sering datang diam-diam—seperti pakai mode silent. Bahkan saat deras, suaranya nyaris tak terdengar. Lucu ya? Kadang, aku baru sadar hujan karena melihat jendela yang basah. Kecuali jika hujannya keteraluan derasnya, seperti kata pepatah klasik orang Inggris, "It's raining cats and dogs."


(It’s still raining outside, just like it has been since last night. The forecast says it’ll keep raining all day. But don’t imagine the kind of romantic rain we’re used to in Indonesia—the one that taps on tin roofs. Here, the rain often shows up silently, like it's on silent mode. Even when it pours, you can barely hear it. Funny, right? Sometimes I only realize it’s raining when I see water on the window. Unless it’s really pouring down hard—like the classic English saying goes, “It’s raining cats and dogs.”)


Oh ya, di sini juga ada hujan es. Namanya hail. Bentuknya seperti butiran es batu kecil, kadang sebesar kacang polong. Kalau kena kepala, ouch! Sakit. Tapi selama aku tinggal di Inggris, itu jarang terjadi dan biasanya berlangsung singkat. Temanku di Amerika pernah cerita kaca mobilnya pecah gara-gara hailstone, sebutan untuk es batunya. Di sana bisa sebesar bola golf bahkan baseball.  Menurut yang aku baca, rekor hailstone terbesar di sana beratnya hampir 1 kg. Bayangkan!


(Oh, and there’s also hail here. Little balls of ice, sometimes as big as peas. If one hits your head—ouch! But honestly, it rarely happens, and it usually doesn’t last long. My friend in the U.S. once told me her car window broke because of hailstones—they can be as big as golf balls or even baseballs there. I read somewhere that the biggest one ever recorded weighed almost 1 kg. Can you imagine?)

hailstone
hailstone

Saat hujan seperti ini, karpet piknikku harus beristirahat dulu. Aktivitas lebih banyak kami habiskan dalam rumah. Tapi ada satu hal menyenangkan: menikmati makanan hangat-hangat, seperti mi Aceh.


(When it rains like this, my picnic blanket takes a break. Most of the day is spent indoors. But one fun thing about it: eating warm food—like Acehnese noodle or mi Aceh.)


Oh, Mi Aceh! Pedasnya, wangi rempahnya, rasa gurihnya… duh, jadi laper nulisnya. Dulu di kampung, tinggal jalan kaki sebentar, bawa enam ribu rupiah (Kalau di pasar harganya sepuluh ribu. Di Banda Aceh bisa lebih mahal), sudah bisa menikmati sepiring mi goreng Aceh. Kalau bosan dari satu warung, tinggal pindah ke warung yang lain. Di sana, hampir semua warung kopi jual mi Aceh.


(Oh Mi Aceh! Spicy, full of spices, rich in flavor… I’m getting hungry just writing about it. Back home, I could just take a short walk with six thousand rupiah (ten thousand if you’re at the market—more expensive in Banda Aceh) and enjoy a plate of fried mi Aceh. If I got bored of one stall, I’d just move to another. Nearly every coffee shop sold mi Aceh.)


Tapi di sini? Semua harus buat sendiri. Mulai dari mi ayam, sate padang, siomay, lontong, sampai kue basah dan kering—semuanya homemade from the scratch. Ada sih orang Indonesia yang jualan, tapi kalau bisa buat sendiri, kenapa harus beli? Harga satu porsi beli bisa untuk bikin empat sampai lima porsi sendiri.


(But here? I’ve got to make everything myself. From chicken noodles, sate Padang, siomay, lontong, to traditional snacks and cookies—it’s all homemade from scratch. There are some Indonesians selling food, but if I can cook it myself, why not? The price of one portion from someone else can cover four or five portions made at home.)


mie aceh
Mi Aceh 

pastel
pastel

sate padang
sate padang

nastar
nastar

Setidaknya, itulah salah satu hikmah tinggal di luar negeri, aku jadi suka masak. Dulu, masuk dapur rasanya kayak misi bertahan hidup. Sekarang, malah jadi terapi. Apalagi semenjak resep bertebaran di Youtube! Rasanya dunia kuliner langsung terbuka lebar.


(That’s one of the things I’ve gained from living abroad—I’ve learned to enjoy cooking. Back then, cooking felt like a survival task. Now, it’s more like therapy. Especially now that recipes are everywhere on YouTube! It’s like a whole new cooking world opened up.)


Bahan-bahan lokal di sini pun lebih variatif dan terjangkau. Keju, krim, dan bahan baking yang dulu di kampung mahal dan langka, sekarang ada di hampir semua supermarket. Hasilnya? Aku juga jadi rajin bikin kue! Bukan cuma untuk camilan, tapi juga sebagai pengingat rasa rumah.


(Local ngredients here are more varied and affordable, too. Cheese, cream, and baking stuff that used to be expensive and hard to find back home are available in almost every supermarket here. So yep, I’ve started baking too! Not just for snacks, but to bring back that “taste of home.”)


Kalau kamu tanya, sekarang aku biasanya makan apa? Apakah tetap setia dengan masakan Aceh setiap hari? Hmm… jujur saja, tidak. Sepuluh tahun lalu mungkin iya. Tapi sekarang lidahku sudah lintas negara. Asal enak dan halal, masuk semua: macaroni panggang, nasi biryani, dan tentu saja kadang-kadang nasi putih dan Indomie, hehehe.


(If you’re wondering what I usually eat now—do I still stick to Acehnese food every day? Honestly… not really. Maybe ten years ago, yes. But now my taste has gone international. As long as it’s tasty and halal, I’m in—macaroni casserole, biryani rice, and of course, sometimes just plain white rice and Indomie, haha.)


Teringat waktu aku tinggal di Turki. Temanku bilang, “Makanan Turki itu yang terenak di dunia!” Aku pun langsung membela rendang dan teman-temannya. Tak mau kalah, dia mengatakan itu berdasarkan survey dari seorang Amerika yang sudah keliling dunia. Agak kesal, aku menjawab, “Dia pasti belum pernah ke Indonesia."


(I remember when I lived in Turkey, a friend told me, “Turkish food is the best in the world!” I instantly stood up for rendang and all its friends. He insisted, saying it was based on a survey by an American who had traveled the world. A bit annoyed, I replied, “He probably hasn’t been to Indonesia.”)


Tapi sekarang aku paham, setiap tempat punya kelezatannya sendiri. Makanan India, Pakistan, Arab seperti nihari, korma chicken, segala macam biryani. Semua punya cita rasa yang khas dan nikmat. Aku belajar membuka diri, juga membuka lidah.


(But now I get it—every place has its own special flavor. Indian, Pakistani, Arabic food like niharichicken korma, all kinds of biryani—they’re all unique and delicious. I’ve learned to open up—both my mind and my taste buds.)


korma chicken
korma chicken

biryani
biryani


Tinggal di sini juga mengajarkan satu hal penting: beradaptasi dengan bahan makanan yang ada. Harga tempe lebih mahal dari daging ayam. Kangkung? Harganya bisa buat beli empat brokoli! Ikan teri? Harganya bikin dompet menjerit.


(Living here has also taught me something important: adapt to what’s available. Tempeh costs more than chicken. Water spinach? It costs as much as four heads of broccoli. Anchovies? Expensive enough to make your wallet cry.)


Ikan dan seafood, harganya ikut-ikutan tidak bersahabat. Kalau mau yang murah, ya beli ikan yang frozen. Yang aku herankan, di sini buah-buahan tropis seperti rambutan masih dijual mahal walau warnanya sudah menghitam, rambutnya mengering. Duh, kasihan yang pertama kali mencobanya. Dia pasti akan mengatakan, “I don’t like rambutan.” Padahal versi segarnya manis dan berair, kan...


(Fish and seafood? Same story—not friendly to the budget. If you want something affordable, frozen fish is the way to go. What surprises me is that tropical fruits like rambutan are still sold at high prices—even when they’re blackened and dry. Poor first-timers who try them! They’ll probably say, “I don’t like rambutan,” when the fresh ones are actually sweet and juicy.)


Jadilah aku belajar memasak dengan bahan yang umum dan murah di sini. Internet jadi sahabat baik—tinggal cari resep, praktik, modifikasi sesuai stok dapur. Mau tidak mau, aku belajar menyesuaikan. Masak dengan bahan yang umum dan murah di sini. Untungnya resep bertaburan di internet, tinggal pilih.


(So I’ve learned to cook with the common, affordable stuff here. The internet is a great friend—just find a recipe, try it out, and tweak it based on what’s in the kitchen. Like it or not, I’ve had to adjust. Thankfully, there are tons of recipes online—just pick and go.)


Sahabatku, mungkin kamu bertanya-tanya apakah enak tinggal di Inggris? Hmm... Banyak yang bertanya itu kepadaku. Jawabannya, ya, ada enaknya, ada tidaknya. Tapi jujur saja, di mana pun kita tinggal, hidup tetap butuh diusahakan. Jalan-jalan memang menyenangkan, tapi hidup bukan melulu soal liburan.


(My dear friend, you might be wondering—what’s it like living in the UK? Hmm… lots of people ask me that. The answer is: it has its ups and downs. But honestly, no matter where we live, life takes effort. Traveling is fun, sure—but life isn’t always a vacation.)


Yang paling penting menurutku bukan tempatnya, tapi bersama siapa. Mau tinggal di tempat secantik apapun, kalau sendiri dan hampa, tetap terasa kosong. Tapi kalau bersama orang yang kita sayangi, meskipun tinggal di kota kecil dan langit selalu kelabu, hati tetap hangat.

(What matters most, I think, isn’t the place—it’s the people we’re with. You could live in the most beautiful place in the world, but if you’re alone and empty, it’ll still feel hollow. But if you’re with people you love, even a small grey town can feel warm and comforting.)

Ceilee... wah, aku merasa sangat bijak.

(Look at me sounding all wise now 😄)

Suatu hari, seorang teman bertanya di ketika kumenelponnya, “Ma, kamu kan sudah pernah tinggal di mana-mana seperti impianmu. Apa yang kamu dapat?”


(One time, a friend asked me over the phone, “Ma, you’ve lived in so many places like you once dreamed of. What did you get out of it?”)


Aku terdiam, lalu tersenyum.)
Yang aku dapat bukan hanya pengalaman pindah-pindah tempat. Tapi pelajaran hidup. Aku belajar menjadi manusia yang lebih terbuka. Belajar untuk tidak cepat menghakimi. Belajar untuk bersabar. Dan yang paling penting, aku belajar bangga menjadi seorang Muslim dan orang Indonesia.


(I paused, then smiled.)

What I got wasn’t just the experience of moving around. It was life lessons. I learned to be more open. To not judge so quickly. To be more patient. And most importantly, I learned to be proud of being a Muslim and an Indonesian.)


Tinggal jauh dari tanah air membuatku sadar: ke mana pun aku pergi, aku membawa nama agamaku dan negeriku. Maka aku belajar menjaga sikap, berbicara dengan santun, dan menunjukkan bahwa kita pun punya nilai dan budaya yang patut dibanggakan.


(Living far from home made me realize—wherever I go, I carry the name of my faith and my country. So I try to carry myself well, speak politely, and show that we too have values and culture to be proud of.)

Ceileh, kok jadi kayak isi essay beasiswa Fulbrightku ya?

(Wow… this is starting to sound like my Fulbright essay.)


Ya sudahlah, cukup sampai di sini dulu surat dariku. Minggu depan, insyaAllah aku kirim surat lagi, kalau berumur panjang. Sekarang aku mau masak dulu—ingin masak mi Aceh. Tapi sepertinya bahannya tidak ada, hehe.


(Anyway, I think that’s enough for now. Hopefully, I can write again next week, if all goes well. Now I need to cook— I wanna cook Acehnese noodle. But I don’t think I have the ingredients, haha.)


Kamu sendiri, sedang musim buah apa di sana? Kalau ada durian, tolong dikirimi angin baunya ke mari ya...


(How about you? What fruit is in season over there? If there’s durian, please send the smell over this way, will you?)


Salam hangat dari Oldham,

Aku yang sedang ingin makan mi Aceh


(Warm hugs from Oldham,

Me, currently craving Acehnese noodle)


Comments

  1. Yokkk,, makan mie apa razali. Mangat that

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Dari Aceh ke Jawa: Kisah Lucu Seputar Aksen dan Bahasa

Waduh, Bahasa Inggris Anda Takkan Meningkat Walau Tinggal di Inggris!

Tips Praktis Mencegah Makanan Terbuang dan Mengurangi Limbah di Rumah