Surat Keempat dari Oldham: Takziah dan Berburu Buah-buahan Liar

Assalamualaikum

Hai Sahabatku,

(Dear my friend)

Selamat Tahun Baru Hijriah! Semoga tahun ini membawa lebih banyak kebaikan untuk kita semua dibandingkan tahun lalu, ya.

(Happy Islamic New Year! May this new year bring more goodness into our lives than the one before.)

tahun baru hijriah 1447 H

Apa kabarmu di sana? Semoga kamu selalu sehat dan dalam lindungan Allah SWT.

(How are you doing over there? I hope you’re always healthy and under Allah’s protection.)

Sudah lebih dari tiga minggu aku tidak menulis surat. Padahal, awalnya aku meniatkan diri untuk menulis seminggu sekali. Aduh… dan ini baru surat keempat! Tapi ya sudahlah, di sisi lain, aku jadi punya banyak cerita untuk dibagikan. Setuju, kan?

(It’s been more than three weeks since I last wrote a letter. I had planned to write once a week—oh dear... and this is only the fourth one! But oh well, the upside is, now I have lots of stories to share with you. Right?)

Surat kali ini akan kubuka dengan kabar duka. Salah satu kakak dari pemilik rumah kontrakanku meninggal dunia, setelah sekitar sebulan sakit. Aku sempat bertemu beliau sekali, saat hari raya Idulfitri. Rasanya memang berbeda ketika yang berpulang adalah seseorang yang kita kenal. Melihat kesedihan keluarganya, aku ikut merasakan kehilangan itu. Semoga Allah mengampuni dosa-dosanya, menerima semua amal baiknya, dan melapangkan alam kuburnya. Semoga keluarga yang ditinggalkan juga diberi kesabaran dan ketabahan.

(This letter starts with a sad story. A sister of my landlord passed away after being ill for about a month. I met her once, on Eid al-Fitr. It feels different when the person who passes away is someone you’ve met. Seeing her family’s deep sorrow made me feel the loss too. May Allah forgive her sins, accept all her good deeds, and grant her a spacious resting place. And may He give patience and strength to the family she left behind.)

istirja

Mungkin kamu penasaran, bagaimana proses pemakaman seorang Muslim di sini? Dari yang kulihat, biasanya jenazah tidak langsung dimakamkan karena harus mengurus berbagai dokumen. Rata-rata, pemakaman dilakukan pada hari ketiga atau keempat. Tapi dalam kasus ini, alhamdulillah jenazah bisa dimakamkan pada hari kedua — itu tergolong cepat di sini.

(You might wonder what it’s like when a Muslim passes away here. From what I’ve seen, the burial usually isn’t done right away. There are many documents and permits that need to be taken care of first. Often, the burial happens on the third or fourth day. But in this case, she was buried on the second day, which is considered very quick here. Alhamdulillah.)

Untuk lokasi pemakaman, biasanya ada area khusus Muslim di dalam kawasan pemakaman umum. Biaya pemakamannya sendiri cukup mahal, bisa mencapai £3.000 hingga £6.000. Syukurnya, beberapa masjid memiliki dana bantuan khusus bagi Muslim yang membutuhkan, dan ada pula organisasi yang membantu proses ini.

(As for the burial site, Muslims are usually buried in a designated Muslim section within a public cemetery. The funeral costs here are relatively high, ranging from £3,000 to £6,000. Thankfully, some mosques have special funds to help Muslims who are financially in need, and there are also organizations that support in these matters.)

Di sini juga ada takziah, meski bentuknya bisa berbeda tergantung komunitas. Yang kuhadiri adalah dari komunitas Pakistan. Mereka mengadakan takziah di masjid pada hari ketiga. Orang-orang datang, membaca Al-Qur’an—ada yang membaca per juz, ada yang membaca Surat Yasin, semua bacaan sudah disiapkan di atas meja. Bacanya masing-masing dalam hati, kemudian mereka menyampaikan belasungkawa kepada keluarga almarhumah. Acara ditutup dengan makan malam.

(There are also condolence gatherings here, similar to Indonesia, though they may differ depending on the community. The one I attended was with the Pakistani community. On the third day, they held a gathering at the mosque. People came, and Qur’ans were placed on a table, divided by juz or with Surah Yasin. Everyone read quietly to themselves, then approached the family to offer condolences. The evening ended with a shared dinner.)

Aku juga sempat bertanya pada seorang teman dari Bangladesh. Katanya, dulu saat ayahnya meninggal, takziah dilakukan di rumah. Jadi memang bisa berbeda-beda, tergantung kondisi dan kebiasaan komunitas. Kalau di kampungku di Aceh, biasanya orang-orang berdatangan hingga tujuh hari pertama setelah kematian.

(I asked a Bangladeshi friend, and she told me her family held the gathering at home when her father passed away. So, it really varies depending on the situation and community. Back in my hometown in Aceh, people usually continue visiting the bereaved family for the first seven days.)

Kematian memang selalu mengingatkan kita akan diri sendiri—bagaimana, di mana, dan kapan kita akan dipanggil nanti. Tapi satu harapan terbesar, tentu saja, semoga kita semua wafat dalam keadaan husnul khatimah. Aamiin.

(Death really makes you reflect on yourself, doesn’t it? How, where, and when will we go someday? Regardless of all that, my deepest hope is to leave this world in a state of husnul khatimah—a good ending. May we all be granted that. Aamiin.)

Sekarang, kita beralih ke cerita yang lebih cerah. Ingat waktu aku cerita soal buah ceri yang rasanya gak jelas itu? Akhirnya, setelah empat tahun berburu buah ceri liar di Inggris, aku dan suami menemukan pohon ceri dengan buah yang besar dan manis—mirip seperti yang dijual di toko! Dan jaraknya cuma 12 menit jalan kaki dari rumah!

(Now, onto a brighter story: the results of our wild fruit hunting! Do you remember in my last letter I talked about cherries that didn’t taste quite right? Well, after four years of searching for tasty wild cherries in the UK, my husband and I finally found cherry trees with sweet, store-quality fruit—just a 12-minute walk from our house!)

buah cherry

Di sepanjang salah satu jalan utama, ada beberapa pohon ceri. Tapi dua di antaranya ternyata spesial—buahnya merah gelap, besar, dan manis sekali. Suatu hari kami baru menyadarinya setelah melihat seorang pria memetik satu buah ceri di sana. Penasaran, aku dan suami pun mendekat, dan betul saja!

(Along one of the main roads, there are several cherry trees, but two of them produce large, dark red, sweet cherries. We had noticed those trees before but didn’t realize how different their fruit was. One day, after a trip to the supermarket, my husband and I saw a man picking cherries, and we decided to check them out. To our delight, the fruit was exactly what we had been looking for!)

Masalahnya, kami tidak membawa galah. Jadilah agak sulit menjangkau buahnya. Di kesempatan lain, kami membawa tripod yang kami pakai sebagai galah dadakan, hahaha. Meskipun agak repot, seru sekali bisa memetik sendiri buah ceri yang enak seperti itu.

(We didn’t have a fruit picker with us, so it was a bit tricky to reach the higher branches. On another day, we brought our tripod and used it to pick—haha. It was quite challenging, but so much fun picking those cherries ourselves.)

Sayangnya, Madris tidak terlalu menikmatinya. Dia malah ngambek karena merasa tidak diperhatikan. Bahkan dia menolak mengambil ceri yang jatuh, dan lebih memilih minta dipeluk atau duduk di strollernya.

(Madris, however, wasn’t into it at all. He felt a bit left out and sulked. He refused to pick up any cherries that had fallen, and kept asking for cuddles or to sit in his stroller.)

Lucunya, sepasang suami-istri kulit putih yang sudah tua memperhatikan kami dari balik jendela rumahnya yang tepat menghadap pohon ceri itu. Mungkin mereka tidak biasa melihat orang memetik buah di depan rumahnya. Tak disangka, si suami keluar sambil membawa bangku tangga, dan… dia meminjamkannya kepada kami!

(Meanwhile, a white elderly couple watched us from their window, which directly faced the cherry tree. Maybe they had never seen people harvesting cherries in front of their house before. Then, surprisingly, the husband came out with a step stool—and offered it to us!)

Ya Allah, kami tertawa dan langsung mengucapkan terima kasih. Berkat bangku itu, kami bisa memetik banyak buah—sampai dua kotak penuh! Beberapa orang yang lewat ikut memperhatikan, bahkan ada anak-anak yang tertarik. Kami menawarkan buahnya, ada yang mau, ada yang menolak. Alhamdulillah, senang sekali rasanya.

(Oh God, we laughed and thanked him. Thanks to that little act of kindness, we managed to collect two full boxes of cherries. Passersby on the street noticed us too—some children were curious. We offered them some cherries; some accepted, some didn’t. Alhamdulillah, it was such a joyful experience.)

Sekarang, buah cerinya sudah habis. Ceri hanya berbuah setahun sekali, berbeda dengan buah tropis seperti mangga atau jambu yang bisa berbuah berkali-kali.

(Now the cherries are all gone. They only fruit once a year, unlike mangoes or guavas and other tropical fruits that can flower and fruit several times.)

Oh ya, sebelum menemukan ceri itu, kami lebih dulu menemukan raspberry! Lokasinya tidak jauh dari rumah, hanya sekitar delapan menit jalan kaki. Raspberry liar itu tumbuh banyak di sudut padang rumput. Ukurannya memang kecil, tapi manis. Untuk buah ini, Madris sangat antusias—bahkan dia sering mengajak kami ke sana.

(Oh, before we found the cherries, we had already discovered raspberries! Just an 8-minute walk from our house, they grow wild in abundance on the edge of a large grassy field. The berries are small but sweet. And Madris loves them! He often asks to go back there.)

buah raspberry

Suamiku sempat membuat es krim dari raspberry itu—dan rasanya enak sekali. Aku langsung teringat Li Ziqi, YouTuber dari Tiongkok yang terkenal dengan kehidupan alam desa. Dia sering memetik buah liar lalu mengolahnya jadi makanan, selai, dan sebagainya.

(My husband even made ice cream from the raspberries, and it was delicious. It made me think of Li Ziqi, that famous YouTuber from China who lives in the countryside. She picks wild fruit, then makes jam and other beautiful things.)

Selain raspberry, ada juga blackberry yang tumbuh di sana—bahkan lebih banyak jumlahnya. Hanya saja, sebagian besar masih mentah. Tapi beberapa hari lalu, saat pulang dari belanja, kami melihat blackberry besar tumbuh di pinggir jalan. Ukurannya luar biasa, seperti yang dijual di toko! Rasanya manis sekali, tidak seperti blackberry liar yang biasanya asam. InsyaAllah, beberapa hari lagi blackberry-nya akan masak semua.

(There are also blackberry bushes there—actually, even more than the raspberries—but most of them aren’t ripe yet. However, a few days ago, on our way home from shopping, we spotted a huge ripe blackberry growing by the roadside. I’ve never seen one that size outside of a shop! And it tasted so sweet. Usually, the smaller wild ones are sour, though still good for juice or jam. InshaAllah, in a few days, the rest of them will be ready to harvest.)

buah blackberry

Sahabatku, itu dulu cerita dariku kali ini. Semoga minggu depan aku bisa menulis lagi, tepat saat blackberry-nya sudah menghitam sempurna.

(My dear friend, that’s all for now. InshaAllah, I’ll write to you again—hopefully next week when the blackberries have turned deep black and ready for picking.)

Salam hangat,
Aku yang tak sabar memanen blackberry

(Warmest regards,
Me—eagerly waiting to harvest blackberries)

Comments

Popular posts from this blog

Dari Aceh ke Jawa: Kisah Lucu Seputar Aksen dan Bahasa

2025: Tahun Baru, Kebiasaan Baru untuk Rumah Lebih Nyaman

Surat Ketiga dari Oldham: Idul Adha, Kue Sultan dan Nasi Gurih yang Agak Gagal