Surat Ke lima dari Oldham: Dari Klinik ke Kebun

Assalamualaikum, sahabatku,
(Assalamu’alaikum, my dear friend,)

Apa kabar? Semoga kamu di sana selalu sehat, bahagia dan berada dalam lindungan Allah Swt.
(How are you doing? I hope you’re always healthy, happy, and under Allah’s protection.)

Beberapa bulan lalu, aku sempat terjatuh hingga kakiku sakit dan sulit sekali untuk berjalan. Aku pun pergi ke puskesmas dan diperiksa oleh dokter umum. Ia merujukku ke dokter spesialis. Tapi, bayangkan, aku harus menunggu hingga dua bulan lamanya untuk bisa diperiksa. Ya Allah, rasanya sudah sembuh duluan. 

(A few months ago, I had a fall and hurt my leg badly—it was so hard to walk. I went to the local clinic, and the GP referred me to a specialist. But can you imagine? I had to wait two whole months just to be seen! By then, I felt like I’d already healed.)

Yah, begitulah sistem kesehatan di sini. Menurutku, pelayanan kesehatan di Indonesia jauh lebih cepat. Dengan BPJS, waktu tunggunya tidak selama di sini. Kalau ingin lebih cepat, kita bisa langsung ke dokter spesialis dengan biaya yang masih cukup terjangkau. Sementara di sini, wah, biayanya bisa selangit!

(Well, that’s the healthcare system here. Honestly, I think Indonesia is much quicker. With BPJS, the waiting time isn’t as long, and if you want faster service, you can see a specialist directly for a price that’s still affordable. Here though—oh my, the cost is sky-high!)

rumah sakit di Inggris

Apalagi soal kesehatan gigi. Pernah, temanku tak hadir di kelas karena ada janji dengan dokter gigi. Ternyata, jadwal itu sudah ditunggu selama dua tahun! Bisa dibayangkan, kan? Kalau mau cepat, harus ke klinik swasta, tapi biayanya bisa bikin jantungan. It costs an arm and a leg.

(Especially when it comes to dental care. Once, my friend skipped class because she had an appointment with the dentist. Guess what? She had waited two years for that appointment! Can you imagine? If you want it faster, you have to go private—and it costs an arm and a leg.)

Ada juga seorang teman lain, yang karena kecelakaan, giginya rontok. Aku kurang tahu persisnya gimana, tapi dia jadi ompong total. Ia akhirnya memutuskan untuk implan gigi di Turki, dan habis sekitar £6.000. Mahal sekali, kan? Tapi katanya, itu masih jauh lebih murah dibandingkan di sini. Di Inggris, satu gigi saja bisa menghabiskan £2.000! Jadi, kalau ingin pasang 32 gigi, silakan dikalikan sendiri—rasanya mesti jual organ tubuh. Ya Allah…

(Another friend of mine lost her teeth in an accident. I don’t know the full story, but she ended up toothless. In the end, she went to Turkey for dental implants, which cost her around £6,000. Expensive, right? But still way cheaper than here. In the UK, one tooth can cost £2,000! So if you need a full set of 32… well, you might have to sell a kidney. O Allah...)

Tapi, mungkin waktu menunggu yang lama itu karena dianggap sakitnya tidak parah ya. Mungkin untuk penyakit berat, seperti kanker bisa lebih cepat.

(But maybe the long waiting time is because they don’t consider it urgent. For serious illnesses, like cancer, I suppose it’s faster.)

Well, untuk berjaga-jaga, kalau suatu hari kamu berencana ke Inggris (atau Amerika), pastikan urusan kesehatan, terutama gigimu beres dulu di Indonesia, ya. Lakukan pemeriksaan lengkap sebelum berangkat. Kecuali kamu memang berniat ingin berobat di sini. 

(Anyway, just in case—you should take care of your health (especially your teeth!) before coming to the UK or the US. Get a full check-up in Indonesia first, unless of course you really plan to get treated here.)

Oya sahabatku, sudah dua bulan ini aku keranjingan berkebun. Sebenarnya, musim tanam yang ideal di sini dimulai sejak Maret, jadi bisa dibilang aku agak terlambat. Awalnya, aku dan suami merasa halaman belakang rumah kami kurang terkena sinar matahari. Jadinya kami malas menanam apa pun. Tapi rupanya, saat musim panas tiba, sinarnya justru melimpah ruah.

(Oh, by the way, for the past two months I’ve been totally hooked on gardening. The ideal planting season here actually starts in March, so I was kind of late. At first, my husband and I thought our backyard didn’t get enough sunlight, so we weren’t really motivated to plant anything. But it turns out that in summer, the sun is more than enough.)

Berkebun di Inggris

Yah, tak apa, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Di sini, musim berkebun hanya berlangsung dari awal musim semi hingga awal musim gugur. Begitu musim dingin datang, tanaman-tanaman akan beristirahat atau mati.

(Better late than never, right? Gardening season here only lasts from early spring to early autumn. Once winter comes, the plants either go dormant or die.)

Dari tanaman yang kami tanam, yang sudah bisa dipetik adalah daun seledri, daun bawang, dan daun mint. Di sini, seledri yang dijual hanya batangnya saja, daunnya cuma sedikit di ujung. Padahal, yang kami butuhkan justru daunnya.

(From what we planted, we’ve already been able to harvest celery leaves, spring onions, and mint. Funny thing—in the shops here, celery is sold mainly for its stalks, and the leaves are just tiny bits at the top. But we actually use the leaves more!)

Masih soal berkebun, di Inggris ada sistem sewa lahan dari pemerintah kota, namanya allotment. Ada yang gratis, tapi umumnya berbayar—meski biayanya cukup terjangkau. Lahannya luas, dan biasanya digunakan bersama dengan penyewa lain. Saat pertama kali tiba di Oldham, kami sempat mencari yang kosong, tapi semua penuh. Waiting list-nya bahkan bisa sampai 2–3 tahun.

(Speaking of gardening, in the UK there’s this system called an allotment—basically a plot of land you can rent from the local council. Some are free, but most are paid (still affordable though). The land is usually big and shared with other tenants. When we first arrived in Oldham, we tried to find one, but they were all taken. The waiting list can be 2–3 years!)

allotment

Tapi jangan khawatir. Bagi yang ingin berkebun tapi tidak punya lahan, bisa bergabung di community garden, yaitu kebun komunitas yang dikelola para sukarelawan. Hasil panennya bisa digunakan untuk foodbank, dijual untuk kegiatan sosial, atau dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar.

(But don’t worry—if you want to garden but don’t have land, you can join a community garden, which is run by volunteers. The harvest usually goes to food banks, charity events, or is shared with the local community.)

Kami beberapa kali menjadi sukarelawan di salah satu kebun komunitas di sini, namanya Wildbrook Community Garden. Kebunnya luas sekali. Ada pohon apel, pir, ceri, plum, serta berbagai sayuran.

(We’ve volunteered several times at one here called Wildbrook Community Garden. It’s huge, with apple, pear, cherry, and plum trees, plus lots of vegetables.)

daun basil

kebun apel

kebun pir

Selama menjadi sukarelawan di sana, aku banyak belajar hal baru—mulai dari cara menanam kentang, membuat kompos, hingga memetik buah apel. Dulu aku selalu bertanya-tanya, bagaimana cara mengetahui apel sudah matang atau belum? Ternyata caranya sederhana; cukup putar perlahan, jika mudah terlepas, artinya apel itu sudah siap dipanen.

(I’ve learned so much there—how to plant potatoes, make compost, and even how to tell if an apple is ready to be picked. I used to wonder about that! Turns out it’s simple: just twist the apple gently, if it comes off easily, it’s ready.)

Alhamdulillah, aku senang sekali. Hanya saja, aku menyesal baru tahu sekarang tempat seasyik itu.
(Alhamdulillah, I really enjoy it. I just regret not discovering this place earlier.)

Sahabatku, di sini udara sudah mulai dingin walau sesekali masih panas. Beberapa lembar daun pun telah berubah warna, ada yang memerah, ada yang menguning. Musim gugur akan segera tiba. Rasanya baru kemarin kami piknik ceria di musim panas.

(Anyway, the weather here is already getting colder, though sometimes it’s still warm. Some leaves have started changing color—red and yellow. Autumn is just around the corner. It feels like summer picnics were only yesterday.)

musim gugur

Tapi, saat ini kami masih liburan. Madris belum masuk sekolah. Dia akan balik lagi pada awal September. Selama liburan ini, kami mengisi waktu dengan mengikuti berbagai kegiatan musim panas untuk anak-anak, berkunjung ke tempat-tempat baru, dan menjadi sukarelawan di kebun.

(Right now, we’re still on holiday. Madris hasn’t started school yet—he’ll go back in early September. During this break, we’ve been joining kids’ summer activities, visiting new places, and volunteering in the garden.)

Beberapa waktu lalu, kami sempat berjalan-jalan ke Heaton Park, Ordsal Hall, dan Rochdale. Aku ingin menulis cerita khusus tentang perjalanan itu juga. Semoga kesampaian, ya. Sering kali aku punya ide untuk ditulis, tapi tidak langsung dituangkan, jadinya malah menumpuk di kepala—persis seperti setrikaan yang menggunung. Bikin pusing sendiri! Sepertinya aku harus lebih disiplin lagi dalam mengatur waktu menulis.

(We recently went to Heaton Park, Ordsall Hall, and Rochdale. I’d love to write a story about those trips too. Hopefully I’ll get around to it! The problem is, I often have so many ideas to write, but I don’t put them down right away… then they just pile up in my head, like an endless mountain of laundry. Exhausting! I really need to be more disciplined with my writing time.)

Oh ya, di suratku yang lalu, aku cerita sedang menunggu buah blackberry, kan? Sekarang malah udah mau habis. Blackberry ini memang buah liar, tumbuh di mana-mana: di pinggir jalan, taman, atau kebun. Aku suka mencicipinya saat jalan-jalan. Kadang manis, kadang asam. Tapi di sekitar Oldham ini, buahnya manis-manis. Alhamdulillah...

(Oh yes—remember in my last letter I told you I was waiting for the blackberries to ripen? Well, now they’re almost gone! Blackberries grow wild everywhere here—by the roadside, in parks, in gardens. I love picking them while out walking. Sometimes they’re sweet, sometimes sour, but around Oldham they’ve been deliciously sweet. Alhamdulillah…)

blackberry

Ngomong-ngomong tentang makanan, aku teringat dengan saudara-saudara kita di Palestina. Ya Allah... aku tidak sanggup lagi melihat penderitaan mereka di sana, dan rasanya sangat kesal karena hanya bisa menonton tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Sungguh hanya Allah yang Maha Kuasa yang bisa menolong mereka. Sahabatku, mari kita berdoa selalu untuk mereka. Ya Allah, mereka lapar, berilah mereka makanan. Berikanlah mereka kesabaran, kekuatan, kemenangan, kemerdekaan dan kebahagiaan. Dan 

(Talking about food reminds me of our brothers and sisters in Palestine. Ya Allah… I can’t bear to see their suffering anymore. It’s heartbreaking to feel so helpless. Truly, only Allah can help them. My friend, let’s always keep them in our prayers: Ya Allah, they are hungry—feed them. Grant them patience, strength, victory, freedom, and happiness.)

Sahabatku, sekian dulu suratku kali ini. Sebelum kututup surat ini, aku ingin berbagi foto bunga-bunga yang sempat kuambil dari taman milik orang. Indah sekali.

(I think that’s all for now, my dear friend. Before I end this letter, let me share with you some pictures of flowers I snapped from someone’s garden. They were so beautiful.)




bunga mawar

Sampai jumpa di surat selanjutnya, insya Allah.

(Until the next letter, insha’Allah.)

Wassalamualaikum.
Aku yang sedang berharap kemenangan segera tiba untuk Palestina

(Wassalamu’alaikum.
With hope in my heart for victory in Palestine.)

Comments

Popular posts from this blog

Surat Ketiga dari Oldham: Idul Adha, Kue Sultan dan Nasi Gurih yang Agak Gagal

Dari Aceh ke Jawa: Kisah Lucu Seputar Aksen dan Bahasa

Surat Pertama dari Oldham : Akhir Musim Semi di Oldham